Jumat, 25 Juni 2010

Di SDN Wangatoa, Di Duga Dana BOS Raib 41 Juta

Sayang! Dana Bantuan Operasional Sekolah, yang mestinya dimanfaatkan untuk mendukung operasional sekolah, malah dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi. Hal ini terjadi pada, Sekolah Dasar Negeri Wangatoa-Kecamatan Nubatukan Kabupaten Lembata. Raibnya dana BOS sebesar 41 juta ini, diketahui oleh orang tua wali saat Rapat Pembahasan Rencapana Anggaran Pendidikan Sekolah, yang berlangsung pada bulan Desember 2009 lalu.

Dugaan raibnya dana ini, terjadi dibawah kepempimpinan Kepala Sekolah lama Phlipus Patal Namang. Masalah ini-pun sedang ditangani oleh Banwas Kabupaten Lembata, yang hingga saat ini belum diketahui, hasil penyelesaiannya. Dalam rapat pada bulan Desember lalu, orang tua wali, sebenarnya telah meminta pihak sekolah untuk segara mempertanggungjawabkannya, namun karena masalah ini sedang dalam penanganan pihak Banwas Kabupaten Lembata, maka Sekolah hanya menjanjikan untuk dilaporkan kemudian, setelah ada titik terang penyelesaian masalah.

Oleh karena janji yang belum terwajab, orang tua wali SDN Wangatoa, dalam acara Rapat Pembagian Buku Laporan Pendidikan semester akhir, yang berlangsung pada, 25/06/2010, mempertanyakanya. Dan meminta, agar dalam kesempatan ini, dan dihadapan para orang tua, ditentukan waktu pertanggungjawaban dana tersebut.

Niat baik orang tua ini, malah tidak ditanggapai secara serius oleh Kepala Sekolah baru Idelgardis Lau, dari jawabannya terkesan ia melindungi guru yang telah menyalahgunakan dana BOS tersebut. Tak pelak, hal ini langsung diprotes oleh orang tua wali, yang merasa sering dikibuli. Elias, salah seorang wali siswa angkat bicara. Kami tidak suka dikibuli terus, kami tuntut ini karena dalam keputusan rapat pada desember 2009 lalu, dijanjikan untuk segera dibuat laporan pertanggungjawaban penggunaan BOS tahun anggaran 2008/2009. dan masalah raibnya dana sebesar 41 juta. “kami menangkap kesan sekolah sengaja melindungi guru yang pake uang”. Tandas elias dengan nada keras.

Merespon pernyataan itu, Idelgardis selaku kepala sekolah yang baru, meminta diberikan waktu, dan akan disampikan kemudian, berhubung agenda rapat hari ini, adalah pembagian buku laporan pendidikan, dan tanpa dialog. Kata Idel.
Pernyataan inipun, didukung penuh oleh Adrianus Satu Aja, selaku Bendahara Komite Sekolah, yang hadir mewakili Ketua Komite. Adi satu mengatakan, selaku bendahara komite dirinya tidak memliki kewenangan. untuk itu, ia berharap agar rapat dengan agenda mendengar laporan keuangan akan dilakukan kemudian, dan lansung dipimpin oleh Ketua Komite Yohanes Derosari, yang pada kesempatan ini tidak dapat hadir karena sedang keluar daerah. Ia mengaku, selaku Bendahara dirinya hanya diberikan kewenangan untuk mewakili ketua dalam kesempatan itu. Sebaiknya rapat kita lanjutkan kembali pada pertengahan bulan Juli mendatang. Usul Adri.

Usul konkrit Adri, ditimpali Elias. Dengan nada pesimis Elias mengatakan, “saya tidak yakin kalau saat mendatang ketua komite bisa hadir, karena beliau sangat sibuk dengan urusan DPRD. (Sekedar untuk diketahui, Yohanes Derosari adalah Ketua DPRD Lembata) jika terus dengan alasan demikian, maka masalah ini terus terkatung-katung. Hampir senada dengan Elias, Yoseph Dion angkat bicara. Ia mengatakan, laporan keuangan, sebagaimana layaknya, dilaporkan pada akhir tahun, bukan awal tahun. Ia menuntut, agar sekolah harus menanggapi tuntutan orang tua wali ini secara serius. Pernyataan ini langsung disambut tepukan tangan dari seluruh orang tua. Gemuruh tepukan tangan membahana di aula tempat dilakukan pertemuan. Suasana rapatpun kian memanas.

Takut sekolah makin terpojok, Adri Satu, meminta rapat segera ditutup, untuk dilanjutkan dengan acara pembagian buku laporan pendidikan yang berlangsung di dalam kelas. Dengan penuh kekecewaan, orang tua pun meninggalkan ruang rapat. (Elias K. Making)

Jumlah Penduduk NTT 4,7 Juta

KUPANG, POS KUPANG.Com --- Badan Pusat Statistik (BPS) Propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) memprediksi jumlah penduduk NTT mengalami peningkatan. Sebelumnya tahun 2009, total penduduk NTT sebanyak 4,6 juta, namun sesuai hasil sensus penduduk 2010 naik menjadi 4,7 juta lebih.

Hal ini disampaikan Kepala BPS Propinsi NTT, Ir. Poltak Sutrisno Siahaan, ketika ditemui Pos Kupang di ruang kerjanya, Rabu (23/6/2010). Poltak menjelaskan, jumlah penduduk NTT sesuai data BPS tahun 2009 sebanyak 4,6 juta jiwa. Dan setelah dilakukan Sensus Penduduk (SP) 2010 yang dimulai 1 hingga 31 Mei 2010 lalu, diprediksi jumlah itu meningkat atau bertambah sekitar 100.000 lebih jiwa penduduk.

"Memang ada penambahan penduduk setelah sensus. Namun angka pastinya belum kita tahu, karena saat ini petugas BPS NTT masih lakukan 'konsistensi terhadap data dari 21 kabupaten/kota di NTT. Kita akan umumkan hasil sensus sesuai jadwal nasional," kata Poltak.

Dikatakannya, sesuai jadwal nasional, sensus penduduk baru diumumkan pada bulan Agustus 2010 mendatang, setelah pidato Presiden RI pada 16 Agustus 2010. Sementara NTT pada 17 Agustus 2010. Data yang akan diumumkan hanya berupa data jumlah penduduk NTT berdasarkan jenis kelamin. "Setiap tahun tentu ada peningkatan. Meski begitu, penduduk di NTT banyak yang ke luar daerah, terutama perempuan sebagai tenaga kerja dan sebagian sekolah dan mencari pekerjaan di luar daerah yang kemungkinan tidak terdata pada sensus penduduk 2010," katanya.

BPS NTT saat ini, lanjutnya, sedang dalam proses konsistensi dan pengecekan data yang sudah masuk, terutama jumlah penduduk berdasarkan jenis kelamin, agar semua data dipastikan akurat.

Menurut dia, BPS sejak 1 hingga 15 Juni membuka kesempatan bagi masyarakat yang ingin mengadu, karena mungkin belum terdata atau terlewati saat pendataan berlangsung. "Kita berterima kasih kepada seluruh masyarakat NTT yang sudah mendukung atau berpartisipasi menyukseskan sensus penduduk 2010," ujarnya. (yel)

Kota Kupang Naik 13 Persen

SEMENTARA itu, jumlah penduduk di Kota Kupang mengalami peningkatan 13 persen. Sebelumnya, berdasarkan data tahun 2009 jumlah penduduk Kota Kupang 291.474 jiwa, dan setelah sensus 2010 diprediksi naik 13 persen.

"Data terakhir di Kota Kupang terdapat 291.474 jiwa, dan hasil sensus naik menjadi 335.000 lebih. Ini karena Kota Kupang sebagai Ibu kota Propinsi NTT, juga sebagai kota perdagangan, pusat pemerintahan, pusat pendidikan dan lain sebagainya.

Faktor-faktor ini mempengaruhi pertumbuhan penduduk yang urbanisasi ke Kota Kupang untuk bekerja, sekolah dan lain- lain," jelas Kepala BPS Kota Kupang, Ir. Adi Manafe, M.Si.
Dikatakannya, sesuai data sensus yang ada, jumlah penduduk Kota Kupang pasti meningkat tajam akibat adanya urbanisasi penduduk. (yel)

Pos Kupang 24 Juni 2010 halaman 3

Gerardus Manyella Mangan Makan Korban, Pemda Harus Bertanggung Jawab


POS KUPANG/THOMAS DURAN
Tiga korban yang tewas tertimbun mangan di Kiumabun, Desa Oebola Dalam, Kecamatan Fatuleu disemayamkan bersama di rumah duka sebelum dikuburkan. Ketiga korban itu dibaringkan di atas satu tempat tidur, Rabu (7/10/2009).
Jumat, 25 Juni 2010 | 14:48 WIB


KUPANG, POS KUPANG.Com -- Pemerintah daerah di wilayah Timor yang memiliki potensi tambang mangan harus bertanggung jawab terhadap setiap masalah yang timbul akibat eksplorasi dan eksploitasi mangan di wilayahnya. Termasuk, ketika penambangan itu menelan korban jiwa.

Hal ini disampaikan Hubungan Masyarakat (Humas) Persehatian Orang Timor (POT) Nusa Tenggara Timur (NTT), Drs. Michael Betty, kepada Pos Kupang, Kamis (24/6/2010). Betty dimintai tanggapan atas tewasnya beberapa warga akibat menambang mangan di daratan Timor. Kasus terakhir menimpa empat warga di Kecamatan Kakulukmesak, Kabupaten Belu.

"Karena mereka sebagai kepala daerah tahu persis potensi mangan di wilayahnya. Bahkan setiap investor atau pengusaha yang datang selalu melalui pemerintah daerah," kata Betty.

Dia menjelaskan, apabila pemerintah menggunakan alibi, yang sering menjadi korban adalah warga yang mencari mangan secara ilegal, maka hal itu sangat tidak beralasan, sebab warga itu mencari mangan atas permintaan dari pengusaha atau investor, selain tuntutan kebutuhan hidup.

"Kalau pemerintah daerah lepas tangan atau tidak bertanggung jawab, berarti pemerintah sendiri tidak pernah menertibkan investor gelap yang masuk ke daerahnya," jelas Betty.
Dia mengatakan, apabila pemerintah daerah mengelak karena warga yang menjadi korban itu menambang secara ilegal pun sangat tidak masuk akal. "Pemerintah seharusnya yang menertibkan broker atau investor gelap agar warga pun berusaha secara legal karena yang masuk di wilayahnya itu legal pula," ujarnya.

Ketua Umum POT NTT, Drs. Jonathan Nubatonis, mengatakan, sampai saat ini banyak sekali tengkulak yang mengaku sebagai pengusaha mangan di Timor. "Mereka itu masuk ke kampung- kampung untuk mencari dan mengumpulkan mangan. Karena ilegal, maka saat jatuh korban, mereka mengelak. Kalau legal, maka semua aturan pekerja (warga) harus ada, seperti kerja pakai sarung tangan, masker dan lainnya," kata Nubatonis.

Dikatakannya, kasus-kasus mangan yang membuat korban tewas dan tidak ada yang bertanggung jawab membuktikan, pengusaha atau investornya ilegal atau gelap.

"Selain kepala daerah, DPRD setiap kabupaten/kota juga harus bertanggung jawab sebagai lembaga kontrol yang selalu memberi pengawasan terhadap pemerintah," ujarnya.
Gubernur NTT, Frans Lebu Raya menegaskan, penambangan mangan di NTT perlu pengaturan yang lebih baik, sehingga mengurangi risiko kematian. Pemerintah Propinsi NTT baru mendapatkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 23 Tahun 2010 sebagai peraturan pelaksana pertambangan mineral dan batu bara tersebut.

Lebu Raya mengatakan itu usai menghadiri penandatanganan MoU percepatan MDGs dengan DPD dan UNDP di Hotel Sasando Kupang, Kamis (24/6/2010).

Soal pertambangan rakyat yang sering menelan korban jiwa, kata Lebu Raya, perlu diatur lebih baik sesuai dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 23 tahun 2010 tentang Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral. Saat ini pemerintah sedang mempelajari amanat PP itu untuk diimplementasikan dalam pertambangan mangan di NTT.

Gubernur mengharapkan para bupati di daratan Timor meredam gejolak warga yang tergiur dengan rayuan pengusaha mangan lalu melakukan pertambangan rakyat yang membahayakan. Lebu Raya menginginkan mangan ditambang dengan menggunakan teknologi sehingga risiko menelan korban jiwanya menjadi kecil.

Pemda Larang
Wakil Bupati Timor Tengah Selatan (TTS), Drs. Benny A. Litelnoni, S. H, M.Si menegaskan, pemerintah daerah menginstruksikan kepada masyarakat melalui Dinas Pertambangan agar jangan ada penambangan liar terutama penambangan rakyat. Penambangan liar atau penambangan rakyat dapat merusak lingkungan dan keselamatan penambang tidak terjamin.
"Saat ini baru ada delapan investor yang mengantongi izin Kuasa Penambangan (KP), sementara penambangan rakyat belum ada sehingga terjadi kecelakaan akibat penambangan liar atau penambangan rakyat siapa yang bertanggung jawab," kata Litelnoni saat ditemui di ruang kerjanya, Kamis (24/6/2010).

Benny Litelnoni mengatakan, sejauh ini Pemda TTS selalu mengimbau kepada masyarakat agar tidak boleh melakukan penambangan liar, namun tidak diindahkan karena masyarakat diiming-imingi dengan sejumlah uang oleh oknum-oknum tertentu.

"Pemda TTS mengimbau agar masyarakat menunggu sampai ada izin lokasi bagi investor, baru bisa bermitra untuk melakukan penambangan sesuai dengan persyaratan yang berlaku. Untuk itu, Pemda segera membuat perda tentang mangan dan saat ini drafnya sudah ada dan siap dibahas bersama pihak terkait sebelum ditetapkan oleh DPRD TTS," katanya.

Menurut Litelnoni, saat ini ada delapan investor yang mengantongi izin, namun hanya satu, yakni PT SoE Makmur Resources (SKR) yang melakukan penambangan, sementara tujuh lainnya belum melakukan kegiatan penambangan.

Ketua DPRD TTS, Eldat Nenabu, S. H mengatakan, sejauh ini belum ada koordinasi antara Dinas Pertambangan dan DPRD untuk melakukan sosialisasi kepada masyarakat berkaitan dengan penambangan dan risikonya.

Menurut Nenabu, sebanyak 170 investor telah mengusulkan permohonan izin penambangan mangan melalui Dinas Pertambangan. Nama-nama investor tersebut telah diserahkan kepada DPRD untuk didisposisikan.

Nenabu mengatakan, para investor harus memiliki kantor dan alamat yang jelas agar bisa dihubungi ketika terjadi persoalan di lapangan.

Menurutnya, setelah anggota legislasi DPRD TTS melakukan konsultasi dengan Dirjen Mineral dan Batu Bara dan pihak kementerian, PP dan Permen berkaitan draf standar harga sudah ditentukan dan dikembalikan kepada daerah untuk menuangkan dalam bentuk perda.
"Kewenangan sepenuhnya diserahkan kepada daerah. Yang terpenting pencanangan wilayah tidak masuk dalam kawasan hutan lindung dan ketentuan tentang ganti rugi tanam- tumbuh pada lokasi serta batasan umur masyarakat masuk lokasi tambang, yakni anak-anak dibawa umur dan orangtua di atas 60 tahun dilarang," katanya.

Demikian juga disampaikan Wakil Ketua DPRD TTS, Ampere Seke Selan, S. H. Menurut dia, ketentuan lain, seperti izin khusus penimbunan, harus dilakukan berkaitan dengan Amdal dan kesehatan lingkungan. (yel/gem/mas)

Jangan Hanya Kejar Profit

TEWASNYA penambang mangan di Kecamatan Kakulukmesak, Kabupaten Belu, disebabkan oleh kurangnya sosialisasi mengenai keselamatan kerja dan cara kerja aman oleh pemerintah dan pengusaha mangan sendiri. Karena itu, pemilik Izin Usaha Pertambangan (IUP) jangan hanya mengejar profit, tetapi harus melakukan sosialisasi kepada masyarakat.

Hal ini dikemukakan Ketua DPRD Belu, Simon Guido Seran, ketika ditemui Pos Kupang di ruang kerjanya, Kamis (24/6/2010). Dia menduga selama ini tidak ada sosialisasi kepada warga mengenai keselamatan kerja, termasuk cara menggali mangan yang aman. Selama ini pengusaha pemilik IUP hanya mengejar profit dan mengabaikan keselamatan pekerja.

"Terlepas dari warga menggali legal atau ilegal, yang perlu diperhatikan adalah sosialisasi soal keselamatan kerja. Pengusaha harus menjelaskan kepada masyarakat bagaimana cara menggali mangan yang baik. Lalu berapa dalam tanah digali untuk mendapatkan mangan. Informasi ini sepertinya tidak pernah disampaikan. Akibatnya seperti dialami warga di Kakulukmesak itu," tegas Simon.

Tentang regulasi, Simon menyatakan sependapat. Di dalam tata tertib terbaru saat ini, pasal 24 menyatakan setiap anggota dewan punya hak mengajukan usulan pembentukan regulasi. Usulan itu disampaikan kepada pimpinan kemudian dibawa kepada panitia legislasi untuk dikaji sebagai hak inisiatif lembaga DPRD Belu.

Khusus untuk perda tentang mangan, Simon menyampaikan akan menyesuaikannya dengan usulan dari pemerintah.

"Soal Perda itu kan bisa datang dari pemerintah, juga dari dewan. Kita lihat nanti, apakah pemerintah yang mengajukan untuk kita bahas bersama ataukah kami dari dewan punya inisiatif, akan kita diskusikan lagi. Tapi yang penting sekarang, sosialisasi mengenai keselamatan kerja dulu bagi para pekerja," kata Simon.


Tokoh masyarakat Belu, Gabriel Fernandez, menegaskan, selama ini pemerintah terkesan membiarkan para pengusaha menggali mangan tanpa memperhatikan dampak lingkungan. Pembiaran seperti ini justru berdampak buruk setelah para pengusaha meninggalkan Belu.


"Jangan karena pengusaha memberikan dana sedikit untuk PAD lantas kita membiarkan lingkungan kita rusak. Sepertinya terjadi pembiaran para pemilik IUP melakukan eksplorasi. Warga yang menggali mangan juga tidak pernah diberikan pengaman. Sekarang memang dampak pada kesehatan belum dirasakan, tapi sepuluh tahun yang akan datang, akan muncul generasi pesakitan sebagai dampak dari penggalian mangan tanpa alat pengaman," tegasnya.

Untuk itu, kata Gabriel, pemerintah dan dewan harus segera membahas peraturan daerah (perda)
yang mengatur soal mangan ini. Sebab, kalau tidak ada payung hukum, pengusaha akan dengan leluasa menguras habis kekayaan alam milik Belu untuk dibawa keluar, sementara generasi kelak hanya sebagai penonton di tanahnya sendiri. (yon)

Rabu, 23 Juni 2010

Mata Elang


Yogi si mata elang kecilku sedang menap masa depan, dengan penuh semangat dan keceriaan.

Objek Wisata Pantai Waijarang Ditutup

Sabtu, 15 Mei 2010 | 14:20 WIB
LEWOLEBA, FS -- Obyek wisata Pantai Waijarang di Desa Waijarang, Kecamatan Nubatukan, Kabupaten Lembata, ditutup oleh pemilik tanah, Mans Wolor dan Gerardus, sejak sebulan lalu.
Pantauan FloresStar di obyek wisata itu, Kamis (13/5/2010), satu pintu gerbang utama dan dua pintu samping di obyek wisata pantai berpasir putih itu sudah dipalang kayu bulat dan bambu oleh pemilik tanah. Pada tiga pintu itu juga dipasang batang-batang pohon berduri.
Informasi yang diperoleh FloresStar menyebutkan, salah satu obyek wisata di Kabupaten Lembata yang berjarak sekitar 18 kilometer dari Kota lewoleba itu pada tahun 2001 dikelola oleh Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Nubatukan. Pada tahun 2004 Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Lembata melalui Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Lembata mengelola obyek wisata pantai tersebut.
Warga Desa Waijarang yang tinggal dekat lokasi obyek wisata Pantai Waijarang, Marsi Amin (64), dan Akbar, (50), saat ditemui di halaman rumah mereka, mengatakan, lokasi wisata itu sudah ditutup oleh pemilik tanah empat minggu lalu. Amin dan Akbar tidak tahu alasan penutupan lokasi wisata tersebut.
Menurut Amin, sejarah pembagian tanah di masa lalu, sesungguhnya tuan tanah sudah tidak memiliki hak lagi atas tanah di tempat wisata itu. Karena pernah ada perjanjian kesepakatan di masa lampau antara para pemilik tanah di wilayah itu bersama orang Boleng dari Pulau Adonara. Dalam kesepakatan itu, jelas Amin, memberikan kewenangan sepenuhnya kepada orang Boleng untuk memanfaatkan tanah itu sebagai lahan pertanian, dan tidak akan diganggu lagi oleh tuan tanah.
"Kalau mau tutup harus orang Boleng, karena dulu pernah ada perjanjian penyerahan hak dari tuan tanah di sini (Waijarang), kepada orang Boleng, untuk mengolah dan menjadi hak milik orang Boleng. Batasnya hingga ke jembatan sana (batas Waijrang-Ndua Ria, Red). Kami tidak tahu mengapa sekarang ada lagi tuan tanah dan menutup tempat wisata itu. Tetapi biarlah karena mungkin dia (pemilik tanah) merasa memiliki hak untuk melakukannya." kata Amin.
Kepala Desa Waijarang, Bernadus Kuma (42), yang ditanya FloresStar saat ditemui di rumahnya, Kamis (13/5/2010), mengatakan, tindakan penutupan tempat wisata Pantai Waijarang oleh pemilik tanah karena sejak dibuka menjadi obyek wisata tahun 2001 oleh Pokdarwis Nubatukan, tidak ada perjanjian atau seremonial adat bersama pemilik tanah.
Demikian selanjutnya, jelas Bernadus, pada tahun 2004, saat Pemerintah Kabupaten (Pemda) Lembata mengucurkan dana melalui Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Lembata, untuk pembangunan fasilitas tambahan seperti lopo dan tempat duduk di tempat wisata itu, juga tuan tanah tidak dilibatkan.
"Tempat wisata itu pertama kali dibuka oleh Pokdarwis pada tahun 2001, setelah ada kelompok transmigrasi di Waijarang ini. Tetapi, saat itu dibuka tanpa sepengetahuan pemilik tanah. Sama halnya saat Pemkab Lembata memberi dana untuk pembangunan lopo, tempat duduk, dan penataan lebih lanjut hingga pemungutan karcis, juga tidak ada pertemuan dengan tuan tanah. Sejak saat itu, pengelolaannya diambil alih oleh Pemkab Lembata, dan Pokdarwis tidak lagi kelola," jelas Kuma.
Menyangkut penutupan tempat wisata itu, kata Kuma, sekitar bulan Maret 2010, pemilik tanah Mans Wolor dan Gerardus, mendatangi kepala desa dan menuntut tempat pariwisata dan areal transmigrasi yang ditempati oleh 100 kepala keluarga. Tetapi, kata Kuma, ia menyatakan kepada kedua pemilik tanah, bahwa pihak desa tidak punya hak menjawab tuntutan tersebut, karena mereka ditempatkan oleh Pemkab Lembata.
Kuma menjelaskan, ia pernah mendampingi (memediasi) tuan tanah menemui Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Lembata bersama Kepala Bidang Pariwisata, sekitar akhir Maret 2010 lalu. Hasil pertemuan itu, jelas Kuma, muncul penawaran dari tuan tanah agar Pemkab Lembata membayar ganti rugi tempat pariwisata itu sebesar Rp 1 miliar.
"Dari pertemuan itu, pak kadis dan pak kabid, menjanjikan untuk memberikan informasi lanjutan ke desa, setelah konsultasi dengan bupati. Tetapi, setelah tiga minggu berjalan tidak ada informasi dari kabupaten sehingga mereka (tuan tanah), mengambil keputusan untuk menutup tempat wisata itu," kata Kuma. (bb)